Tanam Paksa
Latar belakang munculnya Cultur
stelsel (Tanam paksa)
Pada tahun 1829 seorang
tokoh bernama Johanes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda usulan yang
berkaitan dengan cara melaksanakan politik Kolonial Belanda di Hindia. Van den
Bosch berpendapat bahwa untuk memperbaiki problematika ekonomi yang sedang
dialami oleh pemerintah Belanda, harus dilakaukan penanaman tanaman yang dapat
laku dijual di pasar dunia di tanah jajahan. Sesuai dengan keadaan di negeri
jajahan, maka penanaman dilakukan dengan paksa.
Konsep inilah yang
kemudian dikenal dengan cultuurstelsel (Tanam paksa). Dengan cara ini perekonomian
Belanda dapat cepat pulih dan semakin meningkat.
b. Ketentuan-ketentuan Tanam paksa
Raja Willem tertarik
serta setuju dengan usulan Van den Bosch, sehingga Van den Bosch diangkat
sebagai gubernur jendral baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa Van den Bosch
segera mencanangkan sistem dan program tanam paksa. Secara umum tanam paksa
mewajibkan para petani untuk menanan tanaman-tanaman yang dapat diekspor di
pasaran dunia. Rakyat kemudian diwajibkan membayar pajak dalam bentuk barang
sesuai dengan hasil tanam yang ditanam oleh petani. Secara rinci
ketentuan-ketentuan tanam paksa sesuai yang termuat pada lembaran Negara
(Sttatsblad) Tahun 1834 No. 22 adalah sebagai berikut :
a. Penduduk
menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan tanam paksa.
b. Tah
pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan tanam paksa tidak boleh
melebihi 1/5 dari tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk desa.
c. Waktu
dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman tanam paksa tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
d. Tanah
yang disediakan untuk tanaman tanam paksa dibebaskan dari pembayaran pajak
tanah.
e. Hasil
tanaman yang terkait dengan pelaksanaan tanam paksa wajib diserahkan kepada
pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir
melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan
dikembalikan kepada rakyat.
f. Kegagalan
panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan
pemerintah.
g. Penduduk
desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan tanam paksa berada di bawah
pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa
melakukan pengawasan secara umum.
c. Pelaksanaan Tanam Paksa
Menurut Van den Bosch
pelaksanaan tanam paksa harus menggunakan organisasi desa. Oleh karena itu diperlukan factor penggerak,
yakni lembaga organisasi tradisi desa yang dipimpin oleh kepala desa.
Penggerakan tenaga kerja dilakukan dengan cara melalui kegiatan sambatan,
gotong royong, maupun gugur gunung. Dalam hal ini kepala desa tidak hanya
sebagai penggerak tetapi juga sebagai penghubung dengan atasan dan pejabat
pemerintah. Oleh karena itu kepala desa tetap berada di bawah pengawasan pamong
praja.
Pelaksanaan tanam paksa
tidak sesuai dengan peraturan tertulis. Hal ini telah medorong terjadinya
tindak korupsi dari para pegawai dan pejabat yang terkait dengan pelaksanaan
tanam paksa. Tanam paksa telah membawa penderitaan bagi rakyat, banyak rakyat
yang jatuh sakit. Mereka dipaksa focus bekerja untuk tanam paksa, sehingga
nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus. Bahkan timbul bahatya
kelaparan dan kematian di berbagai daerah.
Sementara seperti itu,
pemerintah Belanda telah mendapatkan keuntungan yang besar dengan
deberlakukannya tanam paksa. Belanda menikmati keuntungan di atas pendertiaan
rakyat.
d. Sistem usaha swasta
Pelaksanaan tanam paksa
memang telah berhasil memperbaiki perekonomian Belanda. Kemakmuran juga semakin
meningkat, bahkan keuntungan dari diadakannya taman paksa telah mendorong
Belanda berkembang menjadi Negara indistri. Sejalan dengan hal ini telah
mendorong pula tanpilnya tokoh liberal yang didukung oleh para pengusaha. Oleh
karena itu mulai muncul perdebatan tentang pelaksanaan tanam paksa. Masyarakat
Belanda mulai mepertimbangkan baik buruk dan untung ruginya tanam paksa.
Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan tanam paksa.
Pihak yang pro setuju
jika tanam paksa tetap dilaksanakan adalah kelompok konseratif dan para pegawai
pemerintah. Mereka setuju karena tanam paksa mendatangkan keuntungan. Sementara
pihak yang menentang pelaksanaan tanam paksa adalah kelompok masyarakat yang
merasa kasihan terhadap rakyat pribumi. Mereka umumnya kelompok-kelompok yang
dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas liberal. Kaum liberal
menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi.
Kegiatan ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta.
Pandangan dan ajaran
kaum liberal itu semakin berkembang pengaruhnya semakin kuat. Oleh karena itu
pada tahun 1850 pemerintah mulai bimbang apalagi kaum liberal mendapatkan
kemenangan politik di parlemen. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum
liberal menuntut adanya perubahan dan pembaruan. Peranan pemerintah dalam
kegiatan ekonomi harus dikurangi, sebaliknya perlu diberikan keleluasaan pihak
swasta untuk mengelola kegiatan ekonomi.
Kaum liberal menuntuk
pelaksanaan tanam paksa di Hindia Belanda harus diakhiri. Hal tersebut didorong
oleh terbitnya dua buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Douwes
Dekker dan buku berjudul Suiker contractor karangan FFrans van di Pute. Oleh
karena itu, secara berangsur-angsur tanam paksa mulai dihapus dan mulai
ditetapkan sisitem politik ekonomi liberal. Hal ini juga didorong oleh isi
kesepakatan di dalam Traktat Sumatera.
e. Isi UU Agraria
Seiring dengan upaya
pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda mengeluarkan
berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah UU
Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang-undang ini mengatur tentang
prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu
dtegaskan antara lain :
1. Tanah
di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah
milik penduduk pribumi berupa persawahan, kebun, ladang, dan sebagainya. Kedua,
tanah hutan pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi
dinyatakan sebagai tanah milik pemerintah.
2. Pemerintah
mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah.
3. Pihak
swasta dapat menyewa tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha
swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk dapat disewa selama 5 tahun, ada juga
yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada
pemerintah.
f. Lahirnya imperialisme dan
kapitalisme modern
Sejak
dikeluarkan UU Agraria pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di
Hindia Belanda. Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksploitasi tanah
jajahan. Oleh karena itu mulailah era imperialisme modern. Berkembanglah
kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi sebagi :
1. Tempat
untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa, dan tempat
penanaman modal asing.
2. Tempat
pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa.
3. Penyedia
tenaga kerja yang murah.
g. Dampak Tanam Paksa dan Usaha swasta
Bagi rakyat bumiputera pelaksanaan usaha swasta
telah membawa penderitaan. Pertanian rakyat semakin merosot. Pelaksanaan kerja
paksa masih terus dilakukan seperti pembangunan jalan raya, jembatan, jalan
kereta api, saluran irigasi, benteng-benteng dan sebagainya. Di samping
melakukan kerja paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara hasil-hasil
pertanian rakyat banyak yang menurun. Kerajinan-kerajinan rakyat mengalami
kemunduran karena terdesak oleh alat-alat yang lebih maju. Alat transportasi
tradisional seperti dokar, gerobak jugas semakin terpinggirkan. Dengan demikian
rakyat tetap hidup menderita.
Sumber : Buku paket Sejarah Indonesia untuk kelas XI SMA/MA/SMK/MAK semester 1 terbitan Kemendikbud.
Sumber : Buku paket Sejarah Indonesia untuk kelas XI SMA/MA/SMK/MAK semester 1 terbitan Kemendikbud.