Laman

Rabu, 05 Maret 2014

Kehidupan Kerajaan Majapahit




Kerajaan Mjapahit merupakan kerajaan Hindu-Budha terbesar di Indonesia. Kerajaan ini berpusat di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Pada masa Kejayaannya, Majapahit mampu menguasi seluruh wilayah Indonesia.
Adapun Kehidupan pada masa Kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut
a.      Kehidupan Politik
Perkembangan politik Kerajaan Majapahit
a.       Pemerintahan Kertarajasa
Untuk meredam kemungkinan terjadinya pemberontakan, Raden Wijaya (Kertarajasa) melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1.         Mengawini empat putri Kertanegara dengan tujuan mencegah terjadinya perebutan kekuasaan antar anggota keluarga raja. Putri sulung Kertanegara, Dyah Sri Tribhuaneswari, dijadikan permaisuri dan putra dari pernikahan tersebut Jayanegara, dijadikan putra mahkota. 
Putri bungsu Kertanegara, Dyah Dewi Gayatri dijadikan Rajapatni. Dari putri ini, Kertarajasa memiliki dua putri, Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani diangkat menjadi Bhre Kahuripan dan Rajadewi Maharajasa diangkat menjadi Bhre Daha. Adapun kedua putri Kertanegara lainnya yang dinikahi Kertarajasa adalah Dyah Dewi Narendraduhita dan Dyah Dewi Prajnaparamita. Dari kedua putri ini, Kertarajasa tidak mempunyai putra.
2.         Memberikan kedudukan dan hadiah yang pantas kepada para pendukungnya, misalnya, Lurah Kudadu memperoleh tanah di Surabaya dan Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas daerah Lumajang sampai Blambangan.
Kepemimpinan Kertarajasa yang cukup bijaksana menyebabkan kerajaan menjadi aman dan tenteram. Ia wafat pada tahun 1309 dan dimakamkan di Simping (Blitar) sebagai Syiwa dan di Antahpura (dalam kota Majapahit) sebagai Buddha. Arca perwujudannya adalah Harikaya, yaitu Wisnu dan Syiwa digambarkan dalam satu arca. Penggantinya adalah Jayanegara.

b.      Pemerintahan Jayanegara
Jayanegara (1309-1328) adalah raja Majapahit kedua yang naik takhta kerajaan menggantikan Kertarajasa Jayawardhana (Raden Wijaya) pada tahun 1309 dan memerintah sampai tahun 1328. Pada waktu naik takhta, Jayanegara baru berusia 15 tahun. Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, ia adalah putra Kertarajasa dari Dara Petak atau putri Indreswari (selir). Menurut sumber lain, ia adalah putra Kertarajasa dari Tribuaneswari (permaisuri). Pada tahun 1269, ketika ayahnya masih memerintah, Jayanegara dinobatkan menjadi raja muda (yuwaraja) di Kediri dengan nama Abhiseka Sri Jayanegara.
Masa pemerintahan Jayanegara dipenuhi pemberontakan akibat kepemimpinannya kurang berwibawa dan kurang bijaksana. Pemberontakan-pemberontakan itu sebagai berikut.
a.       Pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1231. Pemberontakan ini dapat dipadamkan pada tahun 1309.
b.       Pemberontakan Lembu Sora pada tahun 1311.
c.       Pemberontakan Juru Demung (1313) disusul Pemberontakan Gajah Biru.
d.      Pemberontakan Nambi pada tahun 1319. Nambi adalah Rakryan Patih Majapahit sendiri.
e.       Pemberontakan Kuti pada tahun 1319. Pemberontakan ini adalah yang paling besar dan berbahaya. Kuti berhasil menduduki ibu kota kerajaan sehingga Jayanegara terpaksa melarikan diri ke daerah Bedander.
Jayanegara kemudian dilindungi oleh pasukan Bhayangkari pimpinan Gajah Mada. Berkat kepemimpinan Gajah Mada, Pemberontakan Kuti dapat dipadamkan. Namun, meskipun berbagai pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan, Jayanegara justru meninggal akibat dibunuh oleh salah seorang tabibnya yang bernama Tanca. Ia lalu dimakamkan di candi Singgapura di Kapopongan.

c.       Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
Oleh karena Jayanegara tidak berputra, sementara Gayatri sebagai Rajapatni telah menjadi biksuni, takhta Kerajaan Majapahit diserahkan kepada Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhana (1328-1350) yang menjalankan pemerintahan dibantu suaminya, Kertawardhana. Masa pemerintahan Tribhuwanatunggadewi diwarnai permasalahan dalam negeri, yakni meletusnya Pemberontakan Sadeng. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada yang pada saat itu baru saja diangkat menjadi Patih Daha.

d.       Pemerintahan Hayam Wuruk
Tribhuwanatunggadewi terpaksa turun takhta pada tahun 1350 sebab Rajapatni Dyah Dewi Gayatri wafat. Penggantinya adalah putranya yang bernama Hayam Wuruk yang lahir pada tahun 1334. Hayam Wuruk naik takhta pada usia 16 tahun dengan gelar Rajasanegara. Dalam menjalankan pemerintahan, ia didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada. 
Gajah Mada diangkat menjadi mahapatih di Majapahit pada tahun 1331. Upacara pelantikannya merupakan suatu persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri dan pejabat-pejabat utama. Dalam upacara pelantikan tersebut, Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa, berisi tekadnya untuk mempersatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit.
Dalam pelaksanaan sumpahnya tersebut, Gajah Mada dibantu oleh Adityawarman dan Pu Nala. Gajah Mada mengawali langkahnya dengan menaklukkan Bali dibantu Adityawarman. Setelah menguasai Bali, Gajah Mada memperluas langkahnya untuk menaklukkan Kalimantan, Nusa Tenggara, dan beberapa wilayah di Semenanjung Malaka.
Usaha Gajah Mada untuk mewujudkan gagasan Nusantara banyak mendapat kesulitan. Di antaranya adalah Peristiwa Bubat yang memaksanya menggunakan jalan kekerasan untuk menyelesaikannya.
Peristiwa Bubat diawali dengan keinginan Hayam Wuruk menikahi Dyah Pitaloka, putri Raja Sunda. Gajah Mada menghendaki agar putri Sunda itu diserahkan kepada Hayam Wuruk sebagai tanda tunduk Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja keinginan ini ditolak oleh Sri Baduga Maharaja, ayah dari Dyah Pitaloka. Terjadilah pertempuran yang mengakibatkan seluruh keluarga Raja Sunda berikut putrinya itu gugur.
Dalam kitab Negarakertagama disebutkan bahwa pada zaman Hayam Wuruk, Kerajaan Majapahit mengalami masa kejayaan dan memiliki wilayah yang sangat luas. Luas kekuasaan Majapahit pada saat itu hampir sama dengan luas negara Republik Indonesia sekarang. 
Namun, sepeninggal Gajah Mada yang wafat pada tahun 1364, Hayam Wuruk tidak berhasil mendapatkan penggantinya yang setara. Kerajaan Majapahit pun mulai mengalami kemunduran.
Kondisi Majapahit berada di ambang kehancuran ketika Hayam Wuruk juga wafat pada tahun 1389. Sepeninggalnya, Majapahit sering dilanda perang saudara dan satu per satu daerah kekuasaan Majapahit pun melepaskan diri. Seiring dengan itu, muncul kerajaan-kerajaan Islam di pesisir. Pada tahun 1526, Kerajaan Majapahit runtuh setelah diserbu oleh pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Raden Patah.
b.      Kehidupan Ekonomi
Keberadaan kerajaan Majapahit ditopang oleh sektor pertanian dan perdagangan. Dengan demikian berarti kerajaan Majapahit adalah kerajaan agraris dan maritim. Di sektor pertanian padi dan hasil pertanian lainnya merupakan tulang punggung perekonomian kerajaan. Pedagang asing yang datang ke Majapahit berasal dari Campa, Khmer, Tahiland, Burma, Srilangka, dan India. Mereka tinggal di beberapa tempat di Jawa dan beberapa di antara mereka ditari pajak oleh pemerintah kerajaan. Komoditi negara asing yang dibawa ke Majapahit adalah sutera dan keramik China, kain dari India, dan dupa dari Arab. Barang-barang tersebut ditukar dengan rempah-rempah dan hasil pertanian lainnya. Sekitar tahun 1949 M terdapat dua jalur pelayaran dari dan ke China(Grace Wong, 1984), yaitu jalur pelayaran barat dan jalur pelayaran timur. Jalur pelayaran yang sering digunakan pedagang jawa adalah jalur pelayaran barat, meliputi Vietnam-Thailand-Malaysia-Sumatera-Jawa-Bali-Timor. Barang-barang yang diperdagangkan adalah
a.         Barang kebutuhan hidup sehari-hari
Berupa bahan makanan, hasil bumi, binatang (ternak, unggas, dan ikan), dan bahan pakaian.
b.         Barang produksi kelompok pengrajin
Terdapat kelompok pengrajin (pengusaha) di kerajaan Majapahityang disebutkan dalam prasasti paramiça, barng yang dibuat antara lain tembaga (dyun), keranjang dari daun kelapa(magawai kisi), payung (magawai payuŋ wlu), upih (mopih), barang anyam-anyaman (manganamanam), kapur (maŋhapu). Terdapat juga pengrajin lak/perekat, tali, warna merah, arang, jerat burung,dan alat penangkap burung.
c.         Barang komoditi internasional
Komoditi yang diperdagangkan adalah merica, garam, rempah-rempah, mutiara, kulit penyu, gula tebu, pisang, kayu cendana, emas, perak, kelapa, kapuk, tekstil katun, sutera, belerang, dan budak belian.
Mata uang yang digunakan pada zaman Majapahit awal adalam mata uang kepeng dari China. Untuk mendapatkannya Majapahit mengimport mata uang dari China, uang tersebut berasal dari dinasti T’ang (618-907), Song (960-1279), Ming (1368-1644), dan Qing (1644-1911). hal ini terjadi karena China banyak mengomport merica dari Majapahit, sehingga banyak mata uang kepeng yang mengalir ke Majapahit12. Pusat perdagangan di kerajaan Majapahit adalah pasar yang biasa disebut pkanatau pkěn. Selain perdagangan salah satu sumber kerajaan adalah pajak. Berdasarkan sumber-sumber yang tertulis, ditemukan lima pokok bahasan yang berhubungan dengan perpajakan, yaitu pajak dan pembatasan usaha, objek pajak dan kriteria pemungutannya, mekanisme pemungutan pajak, alokasi hasil pemungutan pajak, dan kasus-kasus yang berhubungan dengan pemungutan pajak. Pihak kerajaan mengadakan pembatasan usaha terhadap segala jenis benda yang bebas dari pemungutan pajak kerajaan agar hak pembebasan pemungutan pajak kerajaan tidak menjadi tanpa batas. Pajak terdiri dari pajak tanah, pajak usaha, pajak profesi, pajak orang asing, pajak ekspoloitasi Sumber Daya Alam. Pemungutan pajak dilakukan oleh petugas pemungut pajak.
Ekonomi Majapahit sebagaimana ekonomi kebanyakan kerajaan di Jawa bertumpu pada kegiatan pertanian, ini terlihat dari pusat kerajaan Majapahit yang juga terletak di pedalaman. Namun jika dilihat lebih jauh Majapahit ekonomi Majapahit juga ditopang oleh perdagangan. Kombinasi kedua unsur ekonomi ini memberi kekuatan bagi Majapahit, yang juga menjadi sifat Jawa sebelumnya, yaitu kekuatan demografis.
Pertanian di Jawa sangat menjadikan masyarakat Jawa terikat pada institusi desa yang terikat dalam jaringan yang disebut wanua. Institusi inilah yang kemudian menggerakkan jalannya perdagangan dengan pihak luar. Dalam hal ini perdagangan lebih didominasi oleh perdagangan hasil pertanian pokok. Jaringan pasar lokal antar wanua ini sering disebut sebagai pkên.
Pertanian Jawa sejak sebelum Majapahit sangat kuat. Ini terlihat dari dibuatnya Borobudur beberapa abad sebelumnya yang mengindikasikan pertanian Jawa dapat mencukupi pekerjaan missal tersebut. Selain itu pada masa Majapahit di Jawa juga terdapat beberapa candi yang dibangun. Kekuatan demografi ini juga mendukung kebijakan ekspansi yang dilakukan oleh Majapahit.
Kekuatan demogrsfi ini terlihat sangat besar jika kita membandingkan Jawa pada masa Majapahit dengan luar Jawa. Semananjung Malaya pada abad 14 memiliki penduduk sebanyak 200 ribu saja, seukuran kota kecil masa kini, sedangkan Jawa pada saat yang sama memiliki penduduk sebanyak 3 juta orang.
Majapahit juga melakukan perdagangan dengan bangsa luar. Ini terlihat kebijakan penguasaan langsung pelabuhan di hilir sungai Brantas. Meski ibukota Majapahit terletak jauh di pedalaman, ibukota terhubung langsung dengan pelabuhan tersebut melalui sungai tersebut. Produk-produk utama Jawa adalah bahan pangan (beras), tekstil kasar (atau kapas), dan tenaga kerja (budak).
Selain itu motif ekonomi juga terlihat dalam politik ekspansi yang dilakukannnya. Ekspansi-ekspansi yang dilakukannya dilakukan dalam rangka membentuk jaringan kerajaan vassal untuk memperoleh upeti yang akan menjadi produk perdagangan. Selain itu tujuan lain yang lebih utama dalam ekspansi Majapahit adalah untuk memperoleh kontrol atas pelabuhan-pelabuhan dagang utama di Asia Tenggara (dengan kata lain monopoli). Tindak politis yang dilakukan bisa berupa penghancuran pelabuhan atau penaklukan.
c.       Kehidupn Sosial dan Budaya
Pola tata masyarakat Majapahit dibedakan atas lapisan-lapisan masyarakat (strata) yang perbedaannya lebih bersifat statis. Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta seperti di India, yang lebih dikenal dengancatur warna, tetapi hanya bersifat teoritis dalam literatur istana.  Pola ini dibedakan atas empat golongan masyarakat, yaitu brahmana, ksatria,waisya, dan sudra. Namun terdapat pula golongan yang berada di luar lapisan ini, yaitu Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang merupakan golongan terbawah dari lapisan masyarakat Majapahit.
a.          Brahmana (kaum pendeta) mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma, yaitu mengajar, belajar, melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain, membagi dan menerima derma (sedekah) untuk mencapai kesempurnaan hidup dan bersatu dengan Brahman (Tuhan).
b.         Kaum Ksatria merupakan keturunan dari pewaris tahta (raja) kerajaan terdahulu, yang mempunyai tugas memerintah tampuk pemerintahan. Keluarga raja dapat dikatakan merupakan keturunan dari kerajaan Singasari-Majapahit yang dapat dilihat dari silsilah keluarganya dan keluarga-keluarga kerabat raja tersebar ke seluruh pelosok negeri, karena mereka melakukan sistem poligami secara meluas yang disebut sebagai wargahaji atau sakaparek.
c.          Waisya merupakan masyarakat yang menekuni bidang pertanian dan perdagangan. Mereka bekerja sebagai pedagang, peminjam uang, penggara sawah dan beternak. Kemudian kasta yang paling rendah dalamcatur warna adalah kaum sudra yang mempunyai kewajiban untuk mengabdi kepada kasta yang lebih tinggi, terutama pada golongan brahmana.
Golongan terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna dan sering disebut sebagai pancama (warna kelima) adalah kaum candala,mleccha, dan tuccha. Candala merupakan anak dari perkawinan campuran antara laki-laki (golongan sudra) dengan wanita (dari ketiga golongan lainnya: brahmana, waisya, dan waisya), sehingga sang anak mempunyai status yang lebih rendah dari ayahnya. Mleccha adalah semua bangsa di luar Arya tanpa memandang bahasa dan warna kulit, yaitu para pedagang-pedagang asing (Cina, India, Champa, Siam, dll.) yang tidak menganut agama Hindu. Tuccha ialah golongan yang merugikan masyarakat, salah satu contohnya adalah para penjahat.
Dari aspek kedudukan kaum wanita dalam masyarakat Majapahit, mereka mempunyai status yang lebih rendah dari para lelaki. Hal ini terlihat pada kewajiban mereka untuk melayani dan menyenangkan hati para suami mereka saja. Wanita tidak boleh ikut campur dalam urusan apapun, selain mengurusi dapur rumah tangga mereka. Dalam undang-undang Majapahit pun para wanita yang sudah menikah tidak boleh bercakap-cakap dengan lelaki lain, dan sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas antara kaum pria dan wanita.
Zaman Majapahit menghasilkan banyak karya sastra. Periodisasi sastra masa Majapahit dibedakan menjadi dua, yaitu sastra zaman Majapahit awal dan sastra zaman Majapahit akhir. Karya sastra zaman Majapahit awal adalah kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca (1365), kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, kitab Arjuna Wiwaha karangan Mpu Tantular, kitab Kunjarakama (anonim), dan kitab Parthayajna (anonim).

Karya sastra zaman Majapahit akhir ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk tembang (kidung) dan gancaran (prosa). Karya-karya sastra pada zaman ini adalah kitab Pararaton yang berisi tentang riwayat raja-raja Majapahit, kitab Sundayana berisi tentang Peristiwa Bubat, kitab Surandaka menceritakan tentang Pemberontakan Sora di Lumajang, kitab Ranggalawe tentang Pemberontaan Ranggalawe dari Tuban, kitab Panji Wijayakrama berisi tentang riwayat Raden Wijaya, kitab Vsana Jawa menceritakan tentang penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, kitab Usana Bali mengisahkan tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya Danawa, kitab Pamancangah, kitab Panggelaran, kitab Calon Arang, dan kitab Korawasrama.
Jenis peninggalan kebudayaan yang lain dari Kerajaan Majapahit adalah candi. Candi-candi peninggalan Majapahit, antara lain, candi Sumberjati, candi Sanggapura, candi Panataran, dan candi Pari di dekat Porong. Candi Pari memiliki keistimewaan, yaitu arsitekturnya memperlihatkan adanya langgam bangunan dari Campa.
d.      Kehidupan Agama
Terdapat tiga aliran yang hidup berdampingan di kerajaan majapahit, yaitu agama Siwa, Wisnu dan Buddha Mahayana. Segala Upacara keagamaan berjalan secara berdampingan. Di kalangan atas, di kalangan para ahli pikir terdapat proses sinkretisme yang membuat Siwa dan Buddha sama nilainya. Sewaktu hidup raja dipandang sebagai titisan Wisnu, tetapi setelah wafat raja dimakamkan sebagai Siwa. Ada beberapa pendapat yang menguatkan bahwa Siwa dan Buddha hidup berdampingan dalam masyarakat Majapahit, antara lain:
a.       Pendapat Krom (1923) bahwa sinkretisme Siwa dan Buddha tampak dalam kesenian dengan bukti di Candi Jawi terdapat arca Siwa dan arca Aksobhya yang terjadi akibat pengaruh ajaran Tantrayana terhadap kedua agama.
b.      Pendapat Rassers (1926) bahwa pertautan agama Hindu dan Buddha di Jawa Timur merupakan aspek dari satu agama yang tunggal yang berpangkal pada kepercayaan Jawa purba.
c.       Pendapat Goda (1970) bahwa penyamaan dewa-dewa agama Siwa dan Buddha tidak hanya terjadi di Jawa tetapi juga di Kamboja, Nepal, dan India sendiri. Maka kebudayaan asli bukan satu-satunya penyebab terjadinya koalisi agama Siwa dan Buddha.



1 komentar: