Kerajaan
Mjapahit merupakan kerajaan Hindu-Budha terbesar di Indonesia. Kerajaan ini
berpusat di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Pada masa Kejayaannya, Majapahit
mampu menguasi seluruh wilayah Indonesia.
Adapun Kehidupan
pada masa Kerajaan Majapahit adalah sebagai berikut
a. Kehidupan Politik
Perkembangan politik Kerajaan
Majapahit
a.
Pemerintahan Kertarajasa
Untuk meredam kemungkinan terjadinya
pemberontakan, Raden Wijaya (Kertarajasa) melakukan langkah-langkah sebagai
berikut.
1.
Mengawini empat putri
Kertanegara dengan tujuan mencegah terjadinya perebutan kekuasaan antar anggota
keluarga raja. Putri sulung Kertanegara, Dyah Sri Tribhuaneswari, dijadikan
permaisuri dan putra dari pernikahan tersebut Jayanegara, dijadikan putra
mahkota.
Putri bungsu Kertanegara, Dyah Dewi
Gayatri dijadikan Rajapatni. Dari putri ini, Kertarajasa memiliki dua putri,
Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani diangkat menjadi Bhre Kahuripan dan
Rajadewi Maharajasa diangkat menjadi Bhre Daha. Adapun kedua putri Kertanegara
lainnya yang dinikahi Kertarajasa adalah Dyah Dewi Narendraduhita dan Dyah Dewi
Prajnaparamita. Dari kedua putri ini, Kertarajasa tidak mempunyai putra.
2.
Memberikan kedudukan dan
hadiah yang pantas kepada para pendukungnya, misalnya, Lurah Kudadu memperoleh
tanah di Surabaya dan Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas daerah Lumajang
sampai Blambangan.
Kepemimpinan Kertarajasa yang cukup
bijaksana menyebabkan kerajaan menjadi aman dan tenteram. Ia wafat pada tahun
1309 dan dimakamkan di Simping (Blitar) sebagai Syiwa dan di Antahpura (dalam
kota Majapahit) sebagai Buddha. Arca perwujudannya adalah Harikaya, yaitu Wisnu
dan Syiwa digambarkan dalam satu arca. Penggantinya adalah Jayanegara.
b.
Pemerintahan Jayanegara
Jayanegara (1309-1328) adalah raja
Majapahit kedua yang naik takhta kerajaan menggantikan Kertarajasa Jayawardhana
(Raden Wijaya) pada tahun 1309 dan memerintah sampai tahun 1328. Pada waktu
naik takhta, Jayanegara baru berusia 15 tahun. Menurut kitab Negarakertagama
dan Pararaton, ia adalah putra Kertarajasa dari Dara Petak atau putri Indreswari
(selir). Menurut sumber lain, ia adalah putra Kertarajasa dari Tribuaneswari
(permaisuri). Pada tahun 1269, ketika ayahnya masih memerintah, Jayanegara
dinobatkan menjadi raja muda (yuwaraja) di Kediri dengan nama Abhiseka Sri
Jayanegara.
Masa pemerintahan Jayanegara
dipenuhi pemberontakan akibat kepemimpinannya kurang berwibawa dan kurang
bijaksana. Pemberontakan-pemberontakan itu sebagai berikut.
a. Pemberontakan Ranggalawe pada tahun
1231. Pemberontakan ini dapat dipadamkan pada tahun 1309.
b. Pemberontakan Lembu Sora pada tahun 1311.
c. Pemberontakan Juru Demung (1313)
disusul Pemberontakan Gajah Biru.
d. Pemberontakan Nambi pada tahun 1319.
Nambi adalah Rakryan Patih Majapahit sendiri.
e. Pemberontakan Kuti pada tahun 1319.
Pemberontakan ini adalah yang paling besar dan berbahaya. Kuti berhasil
menduduki ibu kota kerajaan sehingga Jayanegara terpaksa melarikan diri ke
daerah Bedander.
Jayanegara
kemudian dilindungi oleh pasukan Bhayangkari pimpinan Gajah Mada. Berkat
kepemimpinan Gajah Mada, Pemberontakan Kuti dapat dipadamkan. Namun, meskipun
berbagai pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan, Jayanegara justru
meninggal akibat dibunuh oleh salah seorang tabibnya yang bernama Tanca. Ia
lalu dimakamkan di candi Singgapura di Kapopongan.
c.
Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
Oleh
karena Jayanegara tidak berputra, sementara Gayatri sebagai Rajapatni telah
menjadi biksuni, takhta Kerajaan Majapahit diserahkan kepada
Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhana (1328-1350) yang menjalankan
pemerintahan dibantu suaminya, Kertawardhana. Masa pemerintahan
Tribhuwanatunggadewi diwarnai permasalahan dalam negeri, yakni meletusnya
Pemberontakan Sadeng. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada yang
pada saat itu baru saja diangkat menjadi Patih Daha.
d.
Pemerintahan Hayam Wuruk
Tribhuwanatunggadewi
terpaksa turun takhta pada tahun 1350 sebab Rajapatni Dyah Dewi Gayatri wafat.
Penggantinya adalah putranya yang bernama Hayam Wuruk yang lahir pada tahun
1334. Hayam Wuruk naik takhta pada usia 16 tahun dengan gelar Rajasanegara.
Dalam menjalankan pemerintahan, ia didampingi oleh Mahapatih Gajah Mada.
Gajah Mada
diangkat menjadi mahapatih di Majapahit pada tahun 1331. Upacara pelantikannya
merupakan suatu persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri dan
pejabat-pejabat utama. Dalam upacara pelantikan tersebut, Gajah Mada
mengucapkan sumpahnya yang terkenal dengan nama Sumpah Palapa, berisi tekadnya
untuk mempersatukan Nusantara di bawah naungan Majapahit.
Dalam
pelaksanaan sumpahnya tersebut, Gajah Mada dibantu oleh Adityawarman dan Pu
Nala. Gajah Mada mengawali langkahnya dengan menaklukkan Bali dibantu
Adityawarman. Setelah menguasai Bali, Gajah Mada memperluas langkahnya untuk
menaklukkan Kalimantan, Nusa Tenggara, dan beberapa wilayah di Semenanjung
Malaka.
Usaha Gajah
Mada untuk mewujudkan gagasan Nusantara banyak mendapat kesulitan. Di antaranya
adalah Peristiwa Bubat yang memaksanya menggunakan jalan kekerasan untuk
menyelesaikannya.
Peristiwa
Bubat diawali dengan keinginan Hayam Wuruk menikahi Dyah Pitaloka, putri Raja
Sunda. Gajah Mada menghendaki agar putri Sunda itu diserahkan kepada Hayam
Wuruk sebagai tanda tunduk Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja keinginan
ini ditolak oleh Sri Baduga Maharaja, ayah dari Dyah Pitaloka. Terjadilah
pertempuran yang mengakibatkan seluruh keluarga Raja Sunda berikut putrinya itu
gugur.
Dalam
kitab Negarakertagama disebutkan bahwa pada zaman Hayam Wuruk, Kerajaan
Majapahit mengalami masa kejayaan dan memiliki wilayah yang sangat luas. Luas
kekuasaan Majapahit pada saat itu hampir sama dengan luas negara Republik
Indonesia sekarang.
Namun,
sepeninggal Gajah Mada yang wafat pada tahun 1364, Hayam Wuruk tidak berhasil
mendapatkan penggantinya yang setara. Kerajaan Majapahit pun mulai mengalami
kemunduran.
Kondisi
Majapahit berada di ambang kehancuran ketika Hayam Wuruk juga wafat pada tahun
1389. Sepeninggalnya, Majapahit sering dilanda perang saudara dan satu per satu
daerah kekuasaan Majapahit pun melepaskan diri. Seiring dengan itu, muncul
kerajaan-kerajaan Islam di pesisir. Pada tahun 1526, Kerajaan Majapahit runtuh
setelah diserbu oleh pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Raden Patah.
b.
Kehidupan Ekonomi
Keberadaan kerajaan Majapahit ditopang
oleh sektor pertanian dan perdagangan. Dengan demikian berarti kerajaan
Majapahit adalah kerajaan agraris dan maritim. Di sektor pertanian padi dan
hasil pertanian lainnya merupakan tulang punggung perekonomian kerajaan. Pedagang
asing yang datang ke Majapahit berasal dari Campa, Khmer, Tahiland, Burma,
Srilangka, dan India. Mereka tinggal di beberapa tempat di Jawa dan beberapa di
antara mereka ditari pajak oleh pemerintah kerajaan. Komoditi negara asing yang
dibawa ke Majapahit adalah sutera dan keramik China, kain dari India, dan dupa
dari Arab. Barang-barang tersebut ditukar dengan rempah-rempah dan hasil
pertanian lainnya. Sekitar tahun 1949 M terdapat dua jalur pelayaran dari dan
ke China(Grace Wong, 1984), yaitu jalur pelayaran barat dan jalur pelayaran
timur. Jalur pelayaran yang sering digunakan pedagang jawa adalah jalur
pelayaran barat, meliputi Vietnam-Thailand-Malaysia-Sumatera-Jawa-Bali-Timor.
Barang-barang yang diperdagangkan adalah
a.
Barang kebutuhan hidup sehari-hari
Berupa bahan makanan, hasil bumi, binatang (ternak,
unggas, dan ikan), dan bahan pakaian.
b.
Barang produksi kelompok pengrajin
Terdapat kelompok pengrajin (pengusaha) di kerajaan
Majapahityang disebutkan dalam prasasti paramiça, barng yang dibuat antara lain tembaga (dyun), keranjang dari daun kelapa(magawai kisi), payung (magawai payuŋ wlu), upih (mopih), barang anyam-anyaman (manganamanam), kapur (maŋhapu). Terdapat juga pengrajin
lak/perekat, tali, warna merah, arang, jerat burung,dan alat penangkap burung.
c.
Barang komoditi internasional
Komoditi yang diperdagangkan adalah merica, garam,
rempah-rempah, mutiara, kulit penyu, gula tebu, pisang, kayu cendana, emas,
perak, kelapa, kapuk, tekstil katun, sutera, belerang, dan budak belian.
Mata uang yang digunakan pada zaman Majapahit awal adalam
mata uang kepeng dari China. Untuk mendapatkannya Majapahit mengimport mata
uang dari China, uang tersebut berasal dari dinasti T’ang (618-907), Song
(960-1279), Ming (1368-1644), dan Qing (1644-1911). hal ini terjadi karena
China banyak mengomport merica dari Majapahit, sehingga banyak mata uang kepeng
yang mengalir ke Majapahit12.
Pusat perdagangan di kerajaan Majapahit adalah pasar yang biasa disebut pkanatau pkěn. Selain perdagangan salah satu
sumber kerajaan adalah pajak. Berdasarkan sumber-sumber yang tertulis,
ditemukan lima pokok bahasan yang berhubungan dengan perpajakan, yaitu pajak
dan pembatasan usaha, objek pajak dan kriteria pemungutannya, mekanisme
pemungutan pajak, alokasi hasil pemungutan pajak, dan kasus-kasus yang
berhubungan dengan pemungutan pajak. Pihak kerajaan mengadakan pembatasan usaha
terhadap segala jenis benda yang bebas dari pemungutan pajak kerajaan agar hak
pembebasan pemungutan pajak kerajaan tidak menjadi tanpa batas. Pajak terdiri
dari pajak tanah, pajak usaha, pajak profesi, pajak orang asing, pajak
ekspoloitasi Sumber Daya Alam. Pemungutan pajak dilakukan oleh petugas pemungut
pajak.
Ekonomi
Majapahit sebagaimana ekonomi kebanyakan kerajaan di Jawa bertumpu pada
kegiatan pertanian, ini terlihat dari pusat kerajaan Majapahit yang juga
terletak di pedalaman. Namun jika dilihat lebih jauh Majapahit
ekonomi Majapahit juga ditopang oleh perdagangan. Kombinasi kedua unsur ekonomi
ini memberi kekuatan bagi Majapahit, yang juga menjadi sifat Jawa sebelumnya,
yaitu kekuatan demografis.
Pertanian di Jawa sangat menjadikan masyarakat Jawa
terikat pada institusi desa yang terikat dalam jaringan yang disebut wanua. Institusi inilah yang
kemudian menggerakkan jalannya perdagangan dengan pihak luar. Dalam hal ini
perdagangan lebih didominasi oleh perdagangan hasil pertanian pokok. Jaringan
pasar lokal antar wanua ini sering disebut sebagai pkên.
Pertanian Jawa sejak sebelum Majapahit sangat kuat. Ini
terlihat dari dibuatnya Borobudur beberapa abad sebelumnya yang mengindikasikan
pertanian Jawa dapat mencukupi pekerjaan missal tersebut. Selain itu pada masa
Majapahit di Jawa juga terdapat beberapa candi yang dibangun. Kekuatan
demografi ini juga mendukung kebijakan ekspansi yang dilakukan oleh Majapahit.
Kekuatan demogrsfi ini terlihat sangat besar jika kita
membandingkan Jawa pada masa Majapahit dengan luar Jawa. Semananjung Malaya
pada abad 14 memiliki penduduk sebanyak 200 ribu saja, seukuran kota kecil masa
kini, sedangkan Jawa pada saat yang sama memiliki penduduk sebanyak 3 juta
orang.
Majapahit juga melakukan perdagangan dengan bangsa luar.
Ini terlihat kebijakan penguasaan langsung pelabuhan di hilir sungai Brantas.
Meski ibukota Majapahit terletak jauh di pedalaman, ibukota terhubung langsung
dengan pelabuhan tersebut melalui sungai tersebut. Produk-produk utama Jawa
adalah bahan pangan (beras), tekstil kasar (atau kapas), dan tenaga kerja (budak).
Selain itu motif ekonomi juga terlihat dalam politik
ekspansi yang dilakukannnya. Ekspansi-ekspansi yang dilakukannya dilakukan
dalam rangka membentuk jaringan kerajaan vassal untuk memperoleh upeti yang
akan menjadi produk perdagangan. Selain itu tujuan lain yang lebih utama dalam
ekspansi Majapahit adalah untuk memperoleh kontrol atas pelabuhan-pelabuhan
dagang utama di Asia Tenggara (dengan kata lain monopoli). Tindak politis yang dilakukan bisa berupa penghancuran pelabuhan
atau penaklukan.
c. Kehidupn Sosial dan Budaya
Pola tata masyarakat Majapahit dibedakan atas
lapisan-lapisan masyarakat (strata) yang perbedaannya lebih bersifat statis.
Walaupun di Majapahit terdapat empat kasta seperti di India, yang lebih dikenal
dengancatur warna, tetapi hanya
bersifat teoritis dalam literatur istana.
Pola ini dibedakan atas empat golongan masyarakat, yaitu brahmana, ksatria,waisya, dan sudra. Namun terdapat pula golongan yang berada di
luar lapisan ini, yaitu Candala, Mleccha, dan Tuccha, yang merupakan golongan terbawah dari lapisan masyarakat
Majapahit.
a.
Brahmana (kaum pendeta) mempunyai kewajiban menjalankan enam dharma, yaitu
mengajar, belajar, melakukan persajian untuk diri sendiri dan orang lain,
membagi dan menerima derma (sedekah) untuk mencapai kesempurnaan hidup dan
bersatu dengan Brahman (Tuhan).
b.
Kaum Ksatria merupakan keturunan dari
pewaris tahta (raja) kerajaan terdahulu, yang mempunyai tugas memerintah tampuk
pemerintahan. Keluarga raja dapat dikatakan merupakan keturunan dari kerajaan
Singasari-Majapahit yang dapat dilihat dari silsilah keluarganya dan
keluarga-keluarga kerabat raja tersebar ke seluruh pelosok negeri, karena
mereka melakukan sistem poligami secara meluas yang disebut sebagai wargahaji atau sakaparek.
c.
Waisya merupakan masyarakat yang menekuni bidang pertanian dan
perdagangan. Mereka bekerja sebagai pedagang, peminjam uang, penggara sawah dan
beternak. Kemudian kasta yang paling rendah dalamcatur warna adalah kaum sudra yang mempunyai kewajiban untuk
mengabdi kepada kasta yang lebih tinggi, terutama pada golongan brahmana.
Golongan
terbawah yang tidak termasuk dalam catur warna dan sering disebut sebagai
pancama (warna kelima) adalah kaum candala,mleccha, dan tuccha. Candala merupakan anak dari perkawinan campuran antara laki-laki (golongan sudra) dengan wanita (dari ketiga
golongan lainnya: brahmana, waisya, dan waisya), sehingga sang anak mempunyai status yang lebih rendah dari
ayahnya. Mleccha adalah semua bangsa di luar Arya tanpa memandang bahasa dan warna
kulit, yaitu para pedagang-pedagang asing (Cina, India, Champa, Siam, dll.)
yang tidak menganut agama Hindu. Tuccha ialah golongan yang merugikan
masyarakat, salah satu contohnya adalah para penjahat.
Dari aspek kedudukan kaum wanita dalam masyarakat
Majapahit, mereka mempunyai status yang lebih rendah dari para lelaki. Hal ini
terlihat pada kewajiban mereka untuk melayani dan menyenangkan hati para suami
mereka saja. Wanita tidak boleh ikut campur dalam urusan apapun, selain
mengurusi dapur rumah tangga mereka. Dalam undang-undang Majapahit pun para
wanita yang sudah menikah tidak boleh bercakap-cakap dengan lelaki lain, dan
sebaliknya. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergaulan bebas antara kaum
pria dan wanita.
Zaman
Majapahit menghasilkan banyak karya sastra. Periodisasi sastra masa Majapahit
dibedakan menjadi dua, yaitu sastra zaman Majapahit awal dan sastra zaman
Majapahit akhir. Karya sastra zaman Majapahit awal adalah kitab Negarakertagama
karangan Mpu Prapanca (1365), kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, kitab
Arjuna Wiwaha karangan Mpu Tantular, kitab Kunjarakama (anonim), dan kitab
Parthayajna (anonim).
Karya
sastra zaman Majapahit akhir ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk tembang
(kidung) dan gancaran (prosa). Karya-karya sastra pada zaman ini adalah kitab
Pararaton yang berisi tentang riwayat raja-raja Majapahit, kitab Sundayana
berisi tentang Peristiwa Bubat, kitab Surandaka menceritakan tentang
Pemberontakan Sora di Lumajang, kitab Ranggalawe tentang Pemberontaan
Ranggalawe dari Tuban, kitab Panji Wijayakrama berisi tentang riwayat Raden
Wijaya, kitab Vsana Jawa menceritakan tentang penaklukkan Bali oleh Gajah Mada,
kitab Usana Bali mengisahkan tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya
Danawa, kitab Pamancangah, kitab Panggelaran, kitab Calon Arang, dan kitab
Korawasrama.
Jenis
peninggalan kebudayaan yang lain dari Kerajaan Majapahit adalah candi.
Candi-candi peninggalan Majapahit, antara lain, candi Sumberjati, candi
Sanggapura, candi Panataran, dan candi Pari di dekat Porong. Candi Pari
memiliki keistimewaan, yaitu arsitekturnya memperlihatkan adanya langgam
bangunan dari Campa.
d.
Kehidupan Agama
Terdapat
tiga aliran yang hidup berdampingan di kerajaan majapahit, yaitu agama Siwa,
Wisnu dan Buddha Mahayana. Segala
Upacara keagamaan berjalan secara berdampingan. Di kalangan atas, di kalangan
para ahli pikir terdapat proses sinkretisme yang membuat Siwa dan Buddha sama
nilainya. Sewaktu hidup raja dipandang sebagai titisan Wisnu, tetapi setelah
wafat raja dimakamkan sebagai Siwa. Ada beberapa pendapat yang menguatkan bahwa
Siwa dan Buddha hidup berdampingan dalam masyarakat Majapahit, antara lain:
a. Pendapat
Krom (1923) bahwa sinkretisme Siwa dan Buddha tampak dalam kesenian dengan
bukti di Candi Jawi terdapat arca Siwa dan arca Aksobhya yang terjadi akibat
pengaruh ajaran Tantrayana terhadap kedua agama.
b. Pendapat Rassers (1926) bahwa
pertautan agama Hindu dan Buddha di Jawa Timur merupakan aspek dari satu agama
yang tunggal yang berpangkal pada kepercayaan Jawa purba.
c. Pendapat Goda (1970) bahwa
penyamaan dewa-dewa agama Siwa dan Buddha tidak hanya terjadi di Jawa tetapi
juga di Kamboja, Nepal, dan India sendiri. Maka kebudayaan asli bukan
satu-satunya penyebab terjadinya koalisi agama Siwa dan Buddha.